Penyesuaian diri dapat juga diartikan sama dengan penyesuaian yang mencakup konformitas terhadap suatu norma. Pemaknaan penyesuaian diri seperti inipun terlalu banyak membawa akibat lain. Dengan memaknai penyesuaian diri sebagai usaha konformitas, menyiratkan bahwa di sana individu seakan-akan mendapat tekanan kuat untuk harus selalu mampu menghindarkan diri dari penyimpangan perilaku, baik secara moral, sosial, maupun emosional.
Dalam sudut pandang ini, individu selalu diarahkan kepada tuntutan konformitas dan terancam akan tertolak dirinya manakala perilakunya tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Keragaman pada individu menyebabkan penyesuaian diri tidak dapat dimaknai sebagai usaha konformitas. Misalnya, pola perilaku pada anak-anak berbakat atau anak-anak genius ada yang tidak berlaku atau tidak dapat diterima oleh anak-anak berkemampuan biasa. Namun demikian, tidak dapat dikatakan bahwa mereka tidak mampu menyesuaikan diri.
Norma-norma sosial dan budaya kadang-kadang terlalu kaku dan tidak masuk akal untuk dikenakan pada anak-anak yang memiliki keunggulan tingkat inteligensi atau anak-anak berbakat. Selain itu, norma yang berlaku pada suatu budaya tertentu tidak sama dengan norma pada budaya lainnya sehingga tidak mungkin merumuskan serangkaian prinsip-prinsip penyesuaian diri berdasarkan budaya yang dapat diterima secara universal.
Dengan demikian, konsep penyesuaian diri sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak dapat disusun berdasarkan konformitas sosial.